MEDIA PEMBELAJARAN
SEJARAH
MATERI KERAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA
POSTER
ALAT PERAGA PEMBELAJARAN
"DJONG MAJAPAHIT"
SAKSI BISU GAGAHNYA KEKUATAN MARITIM NUSANTARA
Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Sunda; dan pada abad setelahnya, juga oleh pelaut Melayu. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya,[1][2] ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial
Belanda. Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo,
dapat mencapai Samudra Atlantik pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40
sampai 2000 ton mati, dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton
pada zaman Majapahit. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Kalinyamat menggunakan kapal jenis ini digunakan
sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut. Kesultanan
Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang.
Kepulauan
Nusantara dikenal untuk produksi jung-jung besar. Tatkala pelaut Portugis
mencapai perairan Asia Tenggara pada
awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung
Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang
sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi
kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus
mengendalikan perdagangan internasional. Banyak tukang-tukang kayu Jawa yang
terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara
itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan
pada relief Candi Borobudur yang
memvisualkan perahu bercadik—belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".
Untuk
melintasi samudra, orang-orang Austronesia menciptakan layar lug yang seimbang (atau yang biasa disebut layar tanja), mungkin dikembangkan dari versi tiang tetap
dari layar cakar kepiting. Sistem layar jung yang biasa digunakan di kapal Tiongkok
sepertinya dikembangkan dari layar tanja.
Selama era
Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan
perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang
menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke
tempat-tempat yang jauh. Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa
pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih
banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara. Juga
pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi
terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario
de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa Selatan
berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah
pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih
dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah
menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km)
selatan dari titik paling selatan Tasmania.
Pada 1322
pendeta Odorik dari Pordenone melaporkan
bahwa dalam perjalanannya dari India ke Cina ia menumpangi kapal dari
tipe zuncum membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun
pedagang. Kidung Panji Wijayakrama-Rangga Lawe (disusun
seawal tahun 1334 M) menyebut jong bertingkat sembilan (jong sasangawangunan)
pada saat peperangan dengan Mongol (1293
M). Ia tampak seperti gunung berapi karena dekorasi awan petirnya yang
berkedip-kedip dan berkilauan, layarnya dicat warna merah. Ia membawa 1000
orang dengan perlengkapan gandiwa (busur), bedil,
tameng, towok (lembing), kantar (perisai panjang), dan baju rantai.
Kerajaan Majapahit menggunakan
jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa
tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi jumlah
terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong
yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika
Majapahit menyerang Pasai. Ekspedisi
militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan
300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap
jong). Menurut Pramoedya Ananta Toer,
kapal Majapahit yang besar dapat membawa 800–1000 orang dan panjangnya mencapai
50 depa (sekitar 80–100 m). Perhitungan modern
berkesimpulan bahwa jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat
membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton dan bobot benaman 3333–3889
ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m dan panjang dek
69,26–72,55 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang, berbobot mati 2000 ton dan
bobot benaman 5556 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 88,56 m dan panjang
dek 80,51 m. Sebuah jong Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk
melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (12,8–16 m)
dan panjang 25 depa (40–50 m). Di antara jong terkecil yang tercatat, yang
digunakan oleh Chen Yanxiang untuk
mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot
mati, dengan awak 121 orang.
Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil. Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral. Ada singgungan di Nagarakretagama bahwa kapal dan perahu Majapahit dicat warna merah dan hitam.
HILANGNYA JUNG JAWA
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan
kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal
Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar
sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga
kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju. Sejak
pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan
tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran
lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka
Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong,
tetapi menggunakan lancaran, ghurab dan ghali. Jong-jong yang berlayar di Nusantara setelah tahun
1600-an daya muatnya hanya sebesar 20–300 ton, dengan kemungkinan rata-rata
sebesar 100 ton, tetapi masih ada beberapa dari mereka yang dapat membawa
200 hingga 300 last muatan (sekitar 360–400 sampai 540–600 ton
metrik) pada awal tahun 1700-an.
Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa
sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka,
yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap
represif Amangkurat I dari
Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I pada 1655
memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah
kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa
dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Medang sampai Majapahit, dan mengubah Mataram menjadi
negara agraris.
Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC)
yaitu Batavia Daghregister melaporkan pada 1677
bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal sendiri bahkan untuk
penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut. Setelah
tahun 1700-an, peran jong telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa,
yaitu bark dan brigantine,
yang dibuat di galangan kapal lokal di Rembang dan Juwana (yang merupakan
tempat pembuatan jong), kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400–600 ton
muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6–184 ton
metrik). Orang Belanda juga menyadari kemahiran orang Jawa dalam pembuatan
kapal, pada abad ke-18 galangan-galangan kapal di Amsterdam mempekerjakan orang Jawa sebagai mandor. Pada
1856, John Crawfurd mencatat
bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada pada pesisir Utara Jawa, dengan
galangan kapal yang diawasi oleh orang Eropa, namun semua pekerjanya orang
Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada abad ke-19 memiliki tonase maksimum 50 ton
dan utamanya digunakan untuk pengangkutan di sungai.